Sebelum ke Bondowoso, terakhir kali naik gunung di tahun 1999 yakni Gunung Ciremai bersama dengan 2 orang teman kuliah. Saat itu saya tidak ada persiapan, berbeda dengan seorang teman dengan persiapan latihan fisik lari setiap hari selama 2 pekan. Hasilnya, sukses sampai puncak. Pas turun hancur deh :D.
Sewaktu di Bondowoso, baru tahun 2016 bersama dengan keluarga naik gunung Ijen. Hal yang paling mengejutkan saya ketika tiba di Ijen adalah betapa ramainya kondisi gunung Ijen. Orang naik gunung meskipun Gunung Ijen tidaklah tinggi dan jalurnya tidak sulit, seperti mau ke mall. Ibu-ibu bermake up cantik dengan sepatu berhak tinggi, ada pula yang membawa sebotol air untuk 1 keluarga, bahkan ada yang tidak bawa bekal. Cerita mengenai ke gunung Ijen bersama keluarga bisa dibaca di Petualangan ke kawah Ijen.

Suasana riang dan riuh saat mendaki gunung Ijen. Dokumentasi pribadi.
Beruntung saat turun Ijen, ada fasilitas gerobak dorong dari para penambang belerang untuk pengunjung yang ingin turun, namun sudah tidak kuat lagi.
Pengalaman di Ijen tersebut membuka mata kepala saya, betapa sekarang ini kegiatan mendaki gunung, hiking (untuk membedakan dengan pendakian gunung yakni aktifitas jalan kaki di alam), outdoor atau kegiatan alam yang menantang sudah begitu digemari. Banyak pernak-pernik mendaki gunung dengan banyak merk yang bertebaran. Kondisi yang jauh berbeda pada kegiatan mendaki di tahun-tahun sebelum millenial.
Membludaknya minat pada pendakian ini bisa dilihat dari banyaknya grup pendaki gunung, sosial media yang mengabadikan foto di gunung, terutama instagram yang bertabur foto-foto yang aduhai saat berada di atas gunung-negeri di atas awan, foto-foto menantang berhubungan dengan aktifitas pendakian termasuk hiking pada sudut-sudut alam yang unik bahkan beresiko, termasuk juga quote-quote yang muncul sebagai hasil endapan pengalaman tentang pendakian.
Keindahan foto-foto di atas gunung atau perbukitan yang menjulang tentu saja mengundang rasa kagum, dan keinginan untuk mengikuti. Tayangan film persahabatan bahkan kisah asmara seputar pendakian makin menambah pesona betapa kegiatan outdoor ini memiliki bagian romantisme yang kuat juga 😀
Foto, film dan cerita mengenai keindahan berada di puncak gunung memberi dorongan untuk mendaki. Tidak semua paham, terutama remaja, bahwa di balik keindahan panorama gunung dan sensasi yang memukai foto dan video yang bertebaran di sosial media, dibaliknya ada kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa mendaki gunung adalah kegiatan yang memiliki resiko tinggi. Ada banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pendakian. Jika tidak maka seperti pengalaman saya di atas, mendaki gunung tertinggi Jawa Barat dengan tanpa persiapan. Akibatnya kaki menjadi bengkak.

Suasana Paltuding area pintu masuk Gunung Ijen yang ramai pada hari-hari tertentu. Dokumentasi pribadi.
Resiko Kecelakaan, Kematian Bahkan Hilang
Resiko yang paling parah adalah kematian. Dan kematian akibat pendakian gunung sudah bukan cerita baru, bahkan kecenderungannya bertambah.
Jalur pendakian Gunung Lawu yang baru dibuka awal Juli 2020 ini sejak pandemi covid-19, menorehkan cerita duka akibat seorang pendaki yakni Andi Sulis Setiawan (18) warga Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, meninggal dunia akibat hipotermia dan kurang perlengkapan setelah jatuh ke jurang pada tanggal 6 Juli. Dua hari sebelumnya, tanggal 4 Juli, seorang pelajar bernama Afrizal berhasil ditemukan, setelah sebelumnya diberitakan hilang di kawasan Gunung Guntur, Kecamatan Tarogong Kaler, Garut, Jawa Barat.
Sehari setelahnya, pada 7 Juli, seorang pendaki ilegal atas nama Sahli (36), warga Desa Tampak Siring, Kabupaten Lombok Tengah, meninggal dunia setelah jatuh ke dalam jurang di kawasan Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Paska kejadian di Gunung Lawu, sebulan kemudian di gunung Piramid Bondowoso, pada 9 Agustus Multazam seorang siswa umur 18 tahun tewas setelah terjatuh ke dalam jurang.
Pada pertengahan Agustus 2020, pendaki bernama Wawan Kurniawan (16 tahun) asal kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, meninggal dunia di gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, saat akan mengikuti rangkaian upacara 17 Agustus.
Terakhir, pada 2 Nopember lalu, seorang pendaki meninggal dunia akibat mengalami lemah jantung di Gunung Andong, Kabupaten Magelang. Korban bernama Udik Trijanto umur 68 tahun yang bertempat tinggal di Kelurahan Pringlango, Kecamatan Pekalongan Barat, Pekalongan Kota.
Penyebab kecelakaan dan kasus orang hilang di gunung bermacam-macam. Namun pada umumnya kurangnya persiapan baik fisik, logistik, maupun peralatan. Di luar ketiga faktor tersebut, masih banyak faktor lainnya. Dari pengamatan saya, yang melatarbelakanginya adalah kurangnya atau ketiadaan informasi dan kesadaran mengenai pendakian sehingga berdampak pada kurangnya persiapan termasuk kepatuhan pada aturan lokal di tiap gunung.
Sewaktu pencarian pendaki hilang di gunung piramid setahun lalu, saya satu tim pencari dengan dua orang dari sebuah yayasan yang menangani bencana alami, termasuk mengurusi pendidikan pencinta alam. Dia bercerita bahwa sikap sembrono di kalangan pelajar dalam pendakian gunung atau aktifitas outdoor umum terjadi. Baca juga: Menyusuri sungai di lembah gunung Piramid.
Banyak yang tidak menyadari bahwa (seperti dituliskan di awal) aktifitas pendakian gunung adalah kegiatan outdoor yang sangat beresiko dibalik foto dan video indah yang dipajang di sosial media.

Solo Hiking: Mengapa Perlu?
Pada bagian ini, saya perlu menuliskan kegiatan hiking. Saya mengartikan hiking sebagai kegiatan jalan-jalan di alam terbuka, dan tidak selalu harus ke puncak gunung ataupun bukit. Bisa juga susur sungai ataupun pantai.
Saya pribadi menyukai solo hiking. Beruntung bahwa di Bondowoso memiliki alam yang indah dan banyak sekali tempat yang bisa dijajaki. Kawasan Bondowoso bagian barat, di kawasan pegunungan Argopura, banyak tempat perbukitan dan gunung yang sangat menarik. Termasuk juga sungai dan air terjun. Solo hiking yang menantang tentunya ke perbukitan dan gunung, dimana dalam rentang waktu pendakian tersebut kita tidak bertemu dengan seorang-pun. Jadi hanya benar-benar sendirian. 😀
Solo hiking perlu dilakukan karena memberikan keleluasaan pribadi untuk menentukan seberapa jauh tempat yang harus dituju, seberapa cepat dan seberapa lama berada di tempat tersebut. Keleluasaan pribadi untuk bisa menikmati alam dengan detail-detailnya dan menikmati waktu untuk diri sendiri. Namun, untuk bisa ber-solo hiking ria, persiapan fisik dan perlengkapan menjadi syarat wajib, termasuk juga mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tempat yang dituju.
Saya sendiri melakukan solo hiking dengan catatan tidak perlu bermalam di lokasi. Pagi berangkat, selepas ashar sudah harus turun.

Solo hiking yang menantang tentunya ke perbukitan dan gunung, dimana dalam rentang waktu pendakian tersebut kita tidak bertemu dengan seorang-pun. Jadi hanya benar-benar sendirian. 😀
Solo Hiking: Mengapa Jangan Dilakukan?
Pengalaman yang paling berkesan selama hiking atau pendakian adalah kebersamaan bersama satu tim rombongan. Cerita dan gelak tawa serta saling membantu selama perjalanan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keindahan itu sendiri. Keindahan alam berpadu dengan keindahan persahabatan. Hiking dan pendakian gunung bersama rombongan memberikan kesan kuat bahwa kita membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri.
Hiking dan pendakian yang dilakukan secara berombongan memberikan nilai lebih dalam hal pembagian logistik yang harus dibawa termasuk tugas, membantu dan saling mengingatkan saat melewati medan yang beresiko seperti medan yang curam, licin, di pinggir jurang, resiko longsor, pohon yang tumbang, berbatu dan lainnya.

Pengalaman saat hiking bareng-bareng ke Ijen. Dokumentasi pribadi.
Hiking dan pendakian yang membutuhkan waktu lebih dari sehari sehingga mengharuskan untuk bermalam lebih baik dilakukan secara berombongan. Bermalam sendirian di gunung dan perbukitan, kecuali ada pendaki lain di dekat lokasi bermalam, bisa menjadi kegiatan yang beresiko.
Pada titik inilah, selain juga secara mental kita membutuhkan kenyamanan dan keamanan ketika bersama dengan rombongan, maka solo hiking lebih baik tidak dilakukan.

Pitutelu adalah blog yang dikelola oleh Arundaya Taufiq, seorang ayah dari 2 orang anak kelas 8. Arundaya Taufiq juga mengelola enviro-pedia.com dan beberapa blog lainnya.