Hari minggu itu adalah hari ke 10 kalinya saya main ke Pattirana, sebuah desa yang menyatu dengan perkebunan milik perhutani. Hari itu saya menemani anak sulung, Arundaya Sairendra aka Kak Asa, bermain ke tempat yang disukai sebagai bagian dari tugas sekolah. Kalau dihitung bersama dengan Kak Asa, kami sudah 4 kali ke Pattirana.
Tempat ini sangatlah menarik dikarenakan ada ‘paket’ lengkap bagi penyuka kegiatan outdoor, seperti saya. Ada jalur hiking yang tidak begitu curam, sungai dengan air yang begitu jernih, air terjun berjumlah 7 buah, binatang hutan seperti monyet dan burung, suasana asri dan pemandangan panorama yang begitu indah saat kita tiba di bagian atasnya, seperti puncak Pattirana 81 dan puncak Gulgulan.
Sebagai gambaran peta, saya sertakan pantauan google map di bawah ini.

Jejak pada Masa Lalu
Pattirana menjadi tempat anjangsana yang menarik karena lokasi dekat dengan rumah. Berjarak 20 km dan ditempuh kurang dari 40 menit, dengan berkendara secara santai.
Pengalaman bertiga dengan bunda dan Raniah menjadi pengalaman yang menarik dan seru. Kondisi Pattirana nan asri menjadikan suasana hiking sangat asyik. Ada spot untuk berselfie ria yang terbuat dari bambu yang dicat berwarna – warni. Jembatan ini mencorok ke sungai.

Setelah tiba di tempat parkir dan membayar tarif parkir, kita akan disuguhi pemandangan tebing bukit dengan batu cadasnya. Di pinggir lokasi parkir berdiri warung kopi. Kita perlu berjalan sekira 100m setelah warung itu untuk tiba di loket pintu masuk.

Setelah membayar tiket Rp. 5 ribu perorang, kita bisa menyusuri jalan setapak menuju dataran tinggi. Di puncak dataran tinggi ini, kita akan tiba di batuan besar yang menempel kok. Butuh sekira 30 menit untuk tiba di puncak Pattirana B29.

Pada jalur yang menanjak dibuatkan jalan dengan pijakan yang diperkuat oleh bambu dan pegangan tangan dari kayu.

Pattirana Kini…
Sungguh saya terkejut ketika datang ke sekian kali ke Pattirana sekitar 2 pekan lalu. Kondisi yang saya ceritakan di atas tidak saya lihat.
Ruput tinggi mulai dari tempat parkir dan jalan setapak menuju puncak Pattirana. Spot foto yang terbuat dari bambu dalam kondisi rusak. Jalan setapak berlubang. Warung kopi kosong dan berdebut. Dan saya bersama Kak Asa tidak menemukan seorang-pun di Pattirana.
Kami akhirnya memarkir motor di tengah pepohonan setelah melewati pintu masuk. Lalu, melanjutkan perjalanan ke sungai untuk sekedar berendam di sana.
Yang tidak berubah adalah air sungainya yang masih jernih dan suara burung berkicauan. Baca juga : Hulu sungai adalah muara peradaban.
Saya merasa, ada yang hilang di wana wisata Pattirana ini.


Pitutelu adalah blog yang dikelola oleh Arundaya Taufiq, seorang ayah dari 2 orang anak kelas 8. Arundaya Taufiq juga mengelola enviro-pedia.com dan beberapa blog lainnya.